PENYELIDIKAN PRA-U 2011

Showing posts with label PARA SAHABAT. Show all posts
Showing posts with label PARA SAHABAT. Show all posts

Sunday, October 21, 2012

TSUMAMAH BIN ATSAL BIN NUKMAN BIN MASLAMAH Al HANAFI

Pada tahun ke-6 Hijriyah, Rasulullah SAW bertekad menyampaikan Agama Islam keseluruh wilayah Arab. Beliau menulis sebanyak lapan pucuk surat kepada raja-raja Arab dan bukan Arab, mengajak mereka menerima Islam. Di antara mereka ini adalah Tsumamah bin Utsal Al-Hanafi, Raja Yamamah.

Rasulullah SAW memasukkan Tsumamah dalam daftar raja-raja yang perlu dikirimi surat karena ia seorang raja yang berpengaruh di kalangan rakyatnya. Ia adalah pemimpin Bani Hanifah yang memiliki pandangan luas dan disegani serta sukar ditentang kehendaknya.

Tsumamah menerima surat Rasulullah SAW dengan sikap menghina dan perilaku tidak terpuji. Bahkan, ia memperlihatkan keangkuhan dan kesombongan. Telinganya tertutup untuk mendengar seruan Rasulullah SAW.

Ia tidak hanya menolak ajakan itu, tapi bertekad untuk membunuh Rasulullah dan mengubur dakwah Islamiyah serta memadamkan cahayan Ilahi itu. Tsumamah hampir saja berhasil melaksanakan keinginannya. Ia nyaris berhasil membunuh Rasulullah. Namun, Allah SWT selalu melindungi nabi-Nya.

Tsumamah hanya berhasil mencederakan beberapa orang sahabat beliau, dan membunuh mereka dengan buas dan kejam. Karena itu Rasulullah mengumumkan kepada kaum Muslimin, bahwa halal menumpahkan darah Tsumamah.

Suatu ketika Tsumamah bermaksud melaksanakan umrah, la berangkat ke Makkah untuk melaksanakan tawaf dan menyembelih kurban sesuai dengan adat jahiliyah. Namun tanpa diduga ketika berada di perbatasan Madinah, ia ditangkap oleh  sepasukan peronda kaum Muslimin di perbatasan Madinah yang menjadi pengawal keselamatan dari serangan musuh.

Mereka membawa Tsumamah ke Madinah dan mengikatkannya pada sebuah tiang masjid, menunggu keputusan Rasulullah. Regu peronda itu tidak mengetahui orang yang mereka tangkap adalah orang yang darahnya dihalalkan oleh Rasulullah, Tsumamah bin Utsal, Raja Yamamah.

Sungguh tak dinyana, tatkala memasuki masjid dan mengetahui keadaan Tsumamah dan siapa dia, Rasulullah memperlakukannya dengan baik dan memerintahkan kepada para sahabat untuk tidak menyakiti Raja Yamamah itu.

“Sediakan makanan dan susu. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar unta beliau diperah susunya di pagi dan petang hari lalu diberi kepada Tsumamah. Kirimkan kepada Tsumamah bin Utsal di masjid!” pinta Rasulullah saw kepada para sahabatnya.

Ketika dalam keadaan diikat di tiang masjid, Tsumamah diperlakukan dengan baik. Dengan kedua mata kepalanya sendiri ia dapat melihat bagaimana indahnya kehidupan kaum Muslimin, begitu erat tali persaudaraan mereka, dan betapa mulia ibadah yang mereka lakukan. Kaum Muslimin selalu shalat berjamaah, bertasbih dan sujud kepada Allah dalam setiap kesempatan.

Semua itu dilakukan kepada Tsumamah sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengannya dan sebelumnya beliau berbicara kepadanya.
Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Tsumamah, beliau ingin menyerunya kepada Islam secara perlahan, beliau bertanya kepadanya, “Apa yang kamu miliki wahai Tsumamah?

Dia menjawab, “Aku mempunyai kebaikan wahai Muhammad, jika kamu membunuh maka kamu membunuh pemilik darah, namun jika kamu memberi maaf maka kamu memberi maaf  kepada orang yang berterima kasih. Jika kamu ingin harta, maka katakan saja niscaya kamu akan kami berikan apa yang kamu inginkan.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkannya dalam keadaan demikian selama dua hari. Makanan dan minuman lezat selalu disuguhkan kepadanya, susu unta tetap diperah untuknya. Kemudian Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya kembali, beliau bertanya, “Apa yang kamu miliki wahai Tsumamah?

Tsumamah menjawab, “Aku hanya mempunyai apa yang aku katakan sebelumnya. Jika kamu memberi maaf maka kamu memberi maaf kepada orang yang berterima kasih, jika kamu membunuh maka kamu membunuh pemilik darah. Jika kamu menginginkan harta, maka mintalah niscaya akan kami beri seberapapun yang kamu mau.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya, di hari berikutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang lagi kepadanya, beliau bertanya kepadanya, “Apa yang kamu miliki wahai Tsumamah?

Dia menjawab, “Aku mempunyai apa yang telah aku katakan kepadamu. Jika kamu memberi maaf maka kamu memberi maaf kepada orang yang berterima kasih, jika kamu membunuh maka kamu membunuh pemilik darah. Jika kamu menginginkan harta, maka mintalah niscaya kami akan memberi seberapa saja yang kamu mau.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat para shahabatnya dan bersabda, “Lepaskan Tsumamah.” Maka mereka membuka ikatannya dan melepaskannya. Tsumamah meninggalkan masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berlalu sampai tiba di sebuah kebun kurma di pinggir Madinah dekat al-Baqi’ yang ada mata airnya. Tsumamah menghentikan kenderaannya di sana. Dia bersuci dengan menggunakan airnya secara baik, kemudian membalikkan langkahnya menuju masjid. Apabila dia sampai di masjid, dia berdiri di hadapan sekumpulan orang dari kaum muslimin dan berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhaq di sembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.”

Selanjutnya Tsumamah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Muhammad, demi Allah di muka bumi ini tidak ada wajah yang paling aku benci melebihi wajahmu, namun sekarang wajahmu menjadi wajah yang paling aku cintai. Demi Allah, tidak ada agama yang paling aku benci melebihi agamamu, namun saat ini agamu menjadi agama yang paling aku cintai. Demi Allah tidak ada negeri yang paling aku benci melebihi negerimu, namun saat ini ia menjadi negeri yang paing aku cintai.” Kemudian dia menambahkan, “Dulu aku pernah membunuh beberapa orang dari shahabat-shahabatmu, apa yang harus aku pikul karenanya?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak ada dosa atasmu wahai Tsumamah, karena Islam menghapus apa yang sebelumnya.”  Maka wajah Tsumamah berbinar, dia berkata, “Demi Allah, aku akan melakukan terhadap orang-orang musyrikin sesuatu yang jauh lebih berat daripada apa yang telah aku lakukan terhadap shahabat-shahabatmu. Aku meletakkan pedangku, jiwaku, dan orang-orangku demi membelamu dan membela agamamu.”  Kemudian Tsumamah berkata, “Ya Rasulullah, pasukanmu menangkapku, pada saat itu aku hendak melaksanakan umrah, menurutmu apa yang aku lakukan?” 

Kalimah Talbiyah ketika Haji & Umrah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Teruskan umrahmu namun di atas syariat Allah dan rasul-Nya.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan manasik umrah kepadanya. Tsumamah melanjutkan langkahnya untuk melaksanakan niatnya, dia tiba di lembah Mekah, maka dia berdiri mengangkat suaranya dengan lantang, “Labbaika Allahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik, innal hamda wan ni’mata laka wal mulk la syarika laka.”

 Orang-orang Quraisy mendengar suara talbiyah, maka mereka hamburan keluar penuh dengan kemarahan dan kekhawatiran, pedang-pedang ditarik dari sarungnya, mereka menuju sumber suara untuk membungkam pemiliknya yang telah mengganggu kandang mereka. Manakala orang-orang datang kepada Tsumamah, dia pun lebih meninggikan suara talbiyahnya sambil memandang mereka penuh dengan kebangaan. Beberapa anak muda Quraisy berniat melepaskan anak panah kepadanya, namun para pemuka Quraisy mencegah mereka. Para pemuka Quraisy berkata, “Celaka kalian, apakah kalian tahu siapa orang ini? Dia adalah Tsumamah bin Utsal, Raja Yamamah, demi Allah, kalau kalian mencelakainya niscaya kaumnya akan memutuskan pengiriman gandum kepada kita, akibatnya kita akan mati kelaparan.”

Kemudian orang-orang mendekati Tsumamah setelah mereka memasukkan pedang-pedang ke dalam sarung masing-masing, mereka bertanya, “Ada apa denganmu wahai Tsumamah? Apakah kamu telah menjadi shabi’ dan meninggalkan agamamu dan agama leluhurmu?” Maka Dia menjawab, “Aku tidak menjadi shabi’, tetapi aku mengikuti agama terbaik, aku mengikuti Muhammad.” Tsumamah menambahkan, “Aku bersumpah demi Ilah Ka’bah ini, setelah aku pulang ke Yamamah tidak ada lagi pengiriman sebiji gandum pun atau sebagian dari hasil buminya sebelum kalian semuanya mengikut Muhammad.” Tsumamah bin Utsal melaksanakan umrah di hadapan orang-orang Quraisy seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dia menyembelih dam untuk mendekatkan diri kepada Allah bukan untuk berhala-berhala. Setelah dia tiba di tengah kaumnya, dia memerintahkan mereka agar menahan gandum agar tidak dikirim kepada orang-orang Quraisy, mereka pun menaati dan mengikuti perintahnya, mereka menahan hasil bumi mereka dari orang-orang Mekah. Sekatan ekonomi yang ditetapkan oleh Tsumamah atas Quraisy mulai berdampak terhadap mereka sedikit demi sedikit, harga makanan mulai melambung, kelaparan menyebar di kalangan masyarakat, kesulitan mendera mereka, sehingga mereka khawatir atas diri mereka dan anak-anak mereka akan mati kelaparan.

Pada saat itu mereka menulis surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang isinya:  “Yang kami tahu tentangmu adalah bahwa kamu penyambung tali silaturahim dan memerintahkan untuk melakukannya. Namun sekarang kamu telah memutuskan rahim-rahim kami, kamu membunuh bapak-bapak kami dengan pedang, dan mematikan anak-anak kami dengan kelaparan. Tsumamah bin Utsal telah memutus pengiriman gandum sehingga hal itu menyulitkan kami. Jika kamu berkenan untuk menulis kepadanya agar dia mengirim apa yang kami perlukan, maka lakukanlah.” 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis kepada Tsumamah agar mengirimkan kembali gandum kepada orang Quraisy, maka dia pun melakukannya. Tsumamah bin Utsal selama hidupnya tetap setia kepada agamanya, menjaga janjinya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Manakala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan orang-orang Arab mulai murtad meninggalkan Islam, baik sendiri-sendiri maupun berjamaah dan Musailamah muncul di antara Bani Hanifah menyeru mereka agar beriman kepadanya, Tsumamah menghadangnya, dia berkata kepada kaumnya, “Wahai Bani Hanifah, jauhilah perkara gelap yang tidak mempunyai cahaya ini. Demi Allah ia adalah kesengsaraan yang Allah tetapkan atas siapa yang mengambilnya dari kalian dan ujian bagi siapa yang tidak mengambilnya.”
Kemudian dia berkata, “Wahai Bani Hanifah, tidak berkumpul dua orang nabi dalam satu waktu. Bahwa Muhammad adalah utusan Allah yang tiada Nabi sesudahnya, tiada nabi yang berserikat dengannya.”

Kemudian dia membacakan firman Allah Ta’ala:
Haa Miim. Alquran ini diturunkan dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, yang mengampuni dosa dan menerima taubat lagi keras hukumanNya yang mempunyai karunia. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Dia. Hanya keadaNyalah semua makhluk kembali.” (Q.S. Ghafir: 1-3).

Kemudian dia berkata, “Bagaimana mungkin firman Allah Ta’ala ini dibandingkan dengan ucapak Musailamah, “Wahai kodok, bersihkanlah apa yang kamu bersihkan, bukan makanan yang kamu halangi dan bukan air yang kamu keruhkan.” Kemudian Tsumamah menyingkir bersama orang-orang yang masih memegang Islam dari kaumnya, dia berperang melawan orang-orang murtad demi menegakkan jihad di jalan Allah dan meninggikan kalimat-Nya di muka bumi.

Semoga Allah membalas Tsumamah bin Utsal atas jasa baiknya kepada Islam dan kaum muslimin dengan kebaikan serta memuliakannya dengan surga yang dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa

Friday, October 19, 2012

KISAH KELUARGA ANAS BIN MALIK - PERAWI HADIS NABI

UMMU SULAIM BINTI MILHAN -  IBU ANAS BIN MALIK

Ummu Sulaim binti Milhan juga dikenali sebagai Ar-Rumaishaa’. Beliau merupakan wanita solehah yang telah banyak meninggalkan contoh ikutan kepada seluruh wanita Islam sehingga ke hari ini. Satu contoh unggul dalam kehidupan rumahtangga Muslim dan kegigihan menyertai perjuangan Rasulullah. Beliaulah ibu kepada Anas bin Malik.
Sebelum memeluk Islam, beliau telah berkahwin dengan Malik bin An Nadhr, bapa Anas bin Malik. Ummu Sulaim telah memeluk Islam bersama-sama kaumnya. Sedangkan suaminya Malik bin An Nadhr enggan memeluk Islam. Ketika itu Anas bin Malik masih kecil dan baru saja berlajar bertutur, namun telah boleh melafazkan kalimah syahadah.
Keengganan suaminya memeluk Islam dan mengambil keputusan meninggalkan Ummu Sulaim membesarkan Anas bin Malik sendirian tidak mematahkan semangatnya. Ummu Sulaim cekal membuktikan cinta kasihnya hanya untuk Islam. Beliau lebih mencintai kehidupan di jalan kebenaran Islam. Dia berazam tidak berkahwin lagi selagi anaknya belum dewasa dan menumpukan sepenuh masa mendidik Anas bin Malik menjadi seorang yang bertakwa dan berilmu. Juga bertekad hanya akan berkahwin jika dipersetujui oleh anaknya Anas.
Sewaktu Rasulullah berhijrah ke Madinah, Anas bin Malik sudah berusia sepuluh tahun. Ummu Sulaim berkata kepada Rasulullah:
“Kebanyakan kaum Ansar lelaki dan perempuan, menghadiahkan sesuatu kepada tuan. Saya tidak punya apa-apa selain anak lelaki ini. Ambillah dia sebagai budak suruhan, supaya dia berkhidmat dan belajar dari tuan.”
Ummu Sulaim sebenarnya sangat berhajat anaknya Anas bin Malik menjadi sebaik-baik manusia. Berkat kesungguhan ibunya dan doa-doa Rasulullah, Anas bin Malik menjadi seorang alim yang banyak meriwayatkan hadis dan memberi fatwa. Ketika Anas bin Malik telah menjangkau usia dewasa, datanglah Abu Talhah melamar ibunya. Abu Talhah menawarkan mas kahwin yang tinggi, untuk menarik perhatian Ummu Sulaim. Namun ketika itu Abu Talhah masih lagi kufur.
Ummu sulaim yang begitu teguh pendirian dan mendalam kecintaanya kepada Islam dengan tegas menjawab:
“Wahai Abu Talhah! Bagaimana boleh menjadi isterimu kerana engkau masih kufur. Kau masih nmenyembah batu dan kayu. Aku tidak mengharapkan mahar yang tinggi. Aku hanya menerimamu setelah engkau memeluk Islam. Memadai keIslamanmu menjadi mahar paling mahal.”
Sekali lagi terbukti cinta dan kasih Ummu Sulaim hanya untuk Islam. Permintaan Ummu Sulaim begitu rupa menjadi tamparan hebat buat Abu Talhah. Tetapi apabila difikirkan semula dengan mendalam, Abu Talhah telah rela memberi persetujuan terhadap syarat yang diminta Ummu Sulaim. Abu Thalhah segera menyatakan persetujuanya kepada permintan Ummu Sulaim dan berharapan besar Ummu Sulaim akan menerimanya dengan senang hati.
Bagi Ummu Sulaim sendiri, beliau masih berpegang kepada janjinya inginkan persetujuan dari Anas bin Malik terlebih dahulu. Setelah Anas bin Malik mepersetujui ibunya berkahwin dengan Abu Talhah, barulah Ummu Sulaim menyatakan kesanggupannya menjadi isteri Abu Talhah. Mas kahwinnya cukup dengan Abu Talhah mengucapkan dua kalimah syahadah. Itulah mas kahwin termahal bagi Ummu Sulaim sebagai bukti cinta dan kasihnya hanya untuk Islam. Bagaimana jika hal demikian dibawa ke dalam kehidupan kita pada hari ini?
Memang ramai yang akan merasa aneh; bagaimana seorang perempuan rela berkahwin dengan mas kahwin semudah itu? Tiada emas, permata dan wang hantaran beribu-ribu juga pelamin bertingkat-tingkat. Berbanding dengan kebiasaan hari ini setiap majlis perkahwinan diraikan dalam majlis gilang gemilang dan besar-besaran. Namun kebahgian dalam rumah tangga Ummu Sulaim dan Abu Talhah telah diasaskan dengan kecintaan sepenuhnya untuk Islam. Abu Talhah sendiri tealh mengorbankan kekufurannya semata-mata mengharapkan beroleh kehidupan yang diredai Allah.
Segala pengorbanan mereka seisi keluarga yang diikhlaskan untuk Islam, tidak Allah sia-siakan. Mereka telah dikurniakan anak-anak yang soleh. Salah seorang diantaranya, Abdullah bin Abu Talhah.Abdullah pula beroleh anak lelaki bernama Ishaq bin Abdullah bin Abu Talhah yang merupakan tokoh ilmu fiqh yang terkenal. Terbukti segala pengorbanan demi kecintaan kepada Islam tidak sia-sia.

 ANAS BIN MALIK.
Beliau lahir di Yatsrib (Madinah) 8 tahun sebelum Hijriah. Nama lengkapnya Anas bin Malik bin an-Nadhar bin Dhomdhom al-Anshory al-Khazrojy. Biasa dipanggil Abu Hamzah, juga digelari ‘Khodim ar-Rasul’ (Pembantu Rasul). Anas diserahkan oleh ibunya Ummu Sulaim, kepada Rasulullah di  kala Rasulullah datang dari Mekah setelah perintah hijrah dari Allah SWT. Penduduk Madinah saat itu benar-benar mengalu-alukan kedatangan Rasulullah, termasuk Anas yang masih kecil dan Ibunya Ummu Sulaim. Ummu Sulaim telah menanamkan di hati Anasyang masih kecil rasa cinta terhadap Rasulullah, sehingaa dia tidak sabar untuk bertemu Rasulullah SAW.

Ayah Anas sempat menentang Ummu Sulaim memeluk agama Islam, namun tentangan dari ayah Anas tidak menggentarkan sedikitpun hati Ummu Sulaim dalam memeluk Islam sebagai sebuah kepercayaan yang mencerahkan peradaban manusia kala itu, agama samawi yang diajarkan Muhammad Rasulullah SAW. Ayah Anas dikabarkan meninggal dalam sebuah perselisihan ketika dia sedang berada di luar rumah, sehingga akhirnya Anas hidup sebagai seorang yatim.

Akhirnya tiba masa hijrahnya Rasulullah SAW dari Mekkah. Mendengar hal ini Anas dan Ummu Sulaim sangat bahagia seperti halnya apa yang dirasakan oleh penduduk Madinah lainnya yang telah memeluk Islam. Katika Rasulullah tiba di Madinah, penduduk berbondong-bondong menyambut beliau. Mereka memberikan hadiah kepada Rasulullah, hingga akhirnya sampailah giliran Anas dan Ummu Sulaim bertemu dengan beliau.

Ummu Sulaim berkata, ”Ya Rasulullah, orang-orang Ansar baik lelaki mahupun perempuan telah memberikan hadiahnya kepada tuan. Tetapi saya tidak memiliki apa-apa untuk saya hadiahkan kepada tuan kecuali anak saya ini. Maka ambillah dia berkhidmat kepada tuan untuk membantu apa yang tuan mahukan.” Rasulullah pun menerima hadiah Ummu Sulaim dengan senang hati. Sejak saat itu Anas bin Malik yang berusia 10 tahun hidup bersama Rasulullah dalam bingkai rumah Rasulullah.

Dalam rumah Rasulullah inilah Anas belajar dan menangkap perilaku Rasulullah yang mulia. Anas menyaksikan perilaku Rasulullah SAW dan berinteraksi secara langsung dengannya. Hampir segala perilaku atau sikap Rasulullah SAW diperhatikan dan kemudian diamalkan olehnya. Abu Hurairah berkata, “Saya belum pernah melihat orang yang menyerupai solatnya Rasulullah kecuali Ibn Ummu Sulaim (maksudnya Anas). Sealain itu, Ibnu Sirin berkata, “Anas adalah sahabat yang solatnya paling bagus, baik di rumah maupun pada waktu Safar.”

Anas menyaksikan secara langsung bagaimana mulianya akhlak Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari.  Anas pernah berkata, “Saya berkhidmat kepada Rasulullah selama sepuluh tahun. Tidak pernah sekalipun Rasulullah berkata: “Mengapa kamu buat begitu…” jika saya melakukan sesuatu. Apabila saya tidak melakukan sesuatu perkara, Baginda tidak pernah beberkata: “Mengapa kamu tidak lakukannya…””

Anas bercerita, “Suatu hari Rasulullah menyuruhku untuk suatu keperluan. Saya pun keluar rumah. Dan jalan berjumpa dengan anak-anak sedang bermain. Saya pun ikut bermain bersama mereka. Saya malah tidak memenuhi perintahnya. Selesai bermain dengan mereka, tiba-tiba saya merasa ada orang berdiri dibelakang saya. Setelah saya menoleh, ternyata Rasulullah sambil memagang bajuku. Sambil tersenyum Rasulullah berkata, “Wahai Anas, Apakah kamu sudah kerjakan perintahku?” Saya merasa bersalah. Saya pun menjawab, “Baiklah, saya pergi sekarang.”

Rasulullah SAW memanggil Anas dengan pangilan kasih sayang, Unais, dan terkadang Beliau memanggil “Anakku”. Rasulullah sering memberikat nasihat-nasihat kepadanya. Seperti nasihatnya kepada Anas berikut ini, “Anakku, bila kau mampu berada di pagi dan petang hari tanpa ada dengki di hatimu pada siapapun, maka lakukanlah…! Anakku, yang demikian adalah termasuk sunnahku, barang siapa yang menghidupkan sunnahku maka ia telah mencintaiku… barang siapa yang mencintaiku maka ia akan berada di surga bersamaku…Anakku, jika kau masuk ke dalam rumah ucapkanlah salam karena itu akan membawa keberkahan bagimu dan juga bagi penghuni rumahmu.”

Rasulullah pernah mendoakan atas Anas bin Malik, “Allahumma Urzuqhu Maalan wa Waladan, wa Baarik Lahu (Ya Allah, berikanlah kepadanya harta dan keturunan, dan berkatilah hidupnya).” Doa Rasulullah SAW tersebut dikabulkan oleh Allah, Anas dikurniakan usia yang panjang. Anas bin Malik hidup selama 103 tahun lamanya, ketika Rasulullah meninggal, Anas masih melanjutkan perjalanan hidupnya hingga 80 tahun kemudian. disebabkan anugerah usianya yang panjang Anas bin Malik berkata, “Tidak ada orang yang tersisa (dari sahabat) yang dapat solat di masjid Qiblatain (dua qiblat) kecuali saya.”Anas juga dikurniakan keturunan yang banyak oleh Allah SWT, iaitu tidak kurang dari 100 orang anak serta cucu beliau. Apabila mengkhatamkan al-Qur’an, beliau mengumpulkan isteri dan anak-anaknya dan kemudian berdoa. Anas juga dikarunia oleh Allah harta yang cukup. Sehingga beliau  menjadi salah seorang pemuda terkaya dari kalangan Ansar. 

Bagi kita doalah seperti dibawah,


Allahumma aksir maali wawaladi, wawasi' li fii daari, wabarikli fima a'atoitani,
waahsin aamali, waghfirli.

Maksudnya:

Ya Allah banyakkanlah hartaku dan anak-anakku,

luaskanlah rumahku,berkatikanlah semua yg Kau beri kepadaku,
perbaiki amalanku, dan ampunkan untukku.

TIPS TARIK REZEKI....
1) Solat berjemaah
2) Solat dhuha
3) Tadabbur al Quran
4) Sedekah
5) Jaga muamalah
6) Perbanyakkan zikir
7) Bersilaturahim


Anas adalah muslim yang soleh, dan taat terhadap perintah Rasulullah. Anas bin Malik tidak berperang dalam perang Badar Akbar, karena usianya masih  muda. Tetapi beliau banyak mengikuti peperangan lainnya sesudah itu. Anas bin Malik turut serta ikut dalam perang Yamamah, di mana perang ini hampir saja jiwanya terenggut saat terkena kait dari besi panas yang dilempar dari benteng musuh. Namun atas izin Allah beliau berhasil diselamatkan oleh saudaranya sendiri Baro’ bin Malik.

Beliau adalah seorang Mufti, Qori, Muhaddith, dan Perawi Islam. Beliau mendapatkan banyak ilmu dari Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, Usman, Mu’ad, Usaid Al Hudair, Abu Tholhah,iIbunya sendiri Ummu Sulaim putri Milhan, ibu saudaranya Ummu Haram dan suaminya Ubadah bin Shamit, Abu Dzar, Malik bin Sha’sha’ah, Abi Hurairah, Fatimah dan masih banyak lainnya.Pada waktu Abu Bakar meminta pendapat Umar mengenai pelantikan Anas bin Malik menjadi pegawai di Bahrain, Umar memujinya :” Dia adalah anak muda yang cerdas dan boleh membaca dan menulis, dan juga lama bergaul dengan Rasulullah”.

Dalam perjalanan 10 tahun bersama Rasulullah Anas bin Malik telah meriwayatkan ribuan hadis. Anas bin Malik merupakan sahabat ketiga terbanyak  meriwayatkan hadis, iaitu sebanyak 2.286 hadits . Hal yang paling membuat sedih Anas bin Malik adalah saat-saat Rasulullah wafat. Jika ia terkenang kepergian Rasulullah maka ia akan sangat bersedih hati hingga orang-orang disekelilingnya juga turut bersedih. Anas bin Malik berkata, “Aku melihat Nabi SAW saat Baginda datang kepada kami, dan akupun melihatnya saat Baginda wafat. Sampai kini aku belum menemukan hari lain seperti kedua hari tersebut. Pada hari Baginda datang ke Madinah, Baginda mampu menerangi semuanya… dan pada hari  hampir Baginda melangkah menuju sisi Tuhannya, maka seolah semuanya menjadi gelap. Kali terakhir aku melihat Baginda adalah hari Isnin di saat tirai kamar Baginda di buka. Aku melihat wajah Baginda seolah lembaran kertas. Saat itu semua orang berdiri di belakang Abu Bakar seraya memandang ke arah Baginda. Hampir saja mereka tak kuasa menahan diri. Lalu Abu Bakar memberi isyarat kepada mereka untuk tenang. Lalu wafatlah Rasulullah SAW di penghujung hari itu. Kami belum pernah melihat pemandangan yang lebih pelik pada kami melebihi wajah Baginda saat kami mengubur jasad Baginda dengan tanah.”

Saat-saat yang paling membahagiakannya adalah saat pertama beliau bertemu Rasulullah SAW, dan saat yang paling membuatnya sedih adalah saat dimana Rasulullah pergi ke pangkuaan Allah. Sepeninggalan Rasulullah SAW Anas pergi ke Damaskus. Dari Damaskus beliau pindah ke Basrah. Dengan bekal pelajaran langsung dari  kekasih Allah, Rasulullah SAW Anas bin Malik mengamalkan setiap pelajaran beharga yang beliau dapati selama 10 tahun bersama orang yang menjadi qudwah bagi umat muslim di seluruh dunia saat ini.
Setelah menjalani hidupnya sekitar satu abad beliau wafat pada tahun 91 Hijrah. Saat terakhirnya ia jatuh sakit dan pada saat tersebut dia berpesan kepada keluarganya, “Ajarkan aku kalimat La ilaha illahu, Muhammadun Rasulullah.” Dia terus mengucapkan kalimat tersebut hingga pada akhirnya dia meninggal dunia. Pada wafatnya Muwarriq berkata: “ Telah hilang separuh ilmu. Jika ada orang suka memperturutkan kesenangannya bila berselisih dengan kami, kami berkata kepadanya, marilah menghadap kepada orang yang pernah mendengar dari Rasululah SAW.”

Anas bin Malik pembantu Rasulullah yang senantiasa mencintai Rasulullah SAW hingga akhir hayatnya adalah salah satu sahabat yang patut kita teladani kesetiaannya. Anas senantiasa  berkeinginan untuk berjumpa dengan Rasulullah SAW saat di akhirat, Anas bin Malik sering berkata, “Aku berharap dapat berjumpa dengan Rasulullah Saw pada hari kiamat sehingga aku dapat berkata kepada Beliau: “Ya Rasulullah, inilah pembantu kecilmu, Unais.”

Thursday, June 7, 2012

ABU ZAR AL GHIFARI -ANTARA SAHABAT AWAL PELUK ISLAM

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVKOvFheiY1BlhXG1d40AejoE3faslQPuoJw_u672idXTriJunL0XSBhmXRuazC6IZViHAek46raHCC3TquIdAeAMbk7HEGN82xyP8SDRsBAHzlY29LIJzDG9HzHy1hOoCgBERi-PoWYI/s400/unta1.jpegABU Zar al-Ghifari adalah seorang sahabat Nabi Muhammad yang berfahaman keras. Beliau terkenal dengan ilmu pengetahuan. Pernah dilaporkan oleh Ali bin Abu Talib bahawa Abu Zar mempunyai ilmu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Abu Zar seorang yang berani. Beliau mengisytiharkan pengislamannya di hadapan Kaabah. Pada ketika itu orang-orang kafir yang menyekutukan Allah mendengar akan kedatangannya. Mereka datang bagi membunuhnya. Kemudian Abu Zar dibantu oleh bapa saudara Nabi Muhammad iaitu Abbas. Abbas memeluk Abu Zar daripada di pukul oleh orang kafir Quraisy. Menurut cerita, orang kafir itu tidak mengenali Abu Zar. Selepas mereka mengetahui yang Abu Zar adalah dari puak Ghifar, barulah mereka membiarkan dan tidak memukulnya lagi. Ghifar adalah satu kawasan yang menjadi laluan perjalanan kabilah-kabilah Quraisy semasa hendak ke Syria. Membunuh Abu Zar bermakna mereka tidak dapat berdagang di situ lagi. Malah puak Ghifar bakal menyerang hendap kabilah mereka. Abu Zar juga seorang yang bersifat takwa dan tabah. Pada masa khalifah Usman, beliau diarahkan supaya berpindah ke kawasan padang pasir yang bernama Rabzah. Beliau tidak suka kepada kekayaan. Beliau sentiasa menentang golongan kaya. Abu Zar menyara kehidupannya dengan memelihara beberapa ekor unta. Beliau juga mempunyai orang suruhan yang sudah tua. Pada suatu hari, seorang orang kampung daripada Bani Sulaim datang berjumpa dengannya. Orang itu berkata: "Saya mahu tinggal bersama tuan. Saya mahu belajar ilmu-ilmu yang tuan ada mengenai perintah Allah dan sunah Nabi Muhammad. Saya sanggup membantu orang suruhan tuan menjaga unta-unta tuan."
Abu Zar memang seorang yang tegas. Beliau mempunyai prinsipnya yang tersendiri. Lalu Abu Zar berkata: "Saya tidak dapat mengambil sembarangan orang tinggal bersama saya, kecuali dengan satu syarat. Kamu perlu ikut segala arahan saya." Mendengar jawapan tersebut, lelaki dari Bani Sulaim itu bertanya: "Apakah syaratnya? Saya cuba patuh kepada kemahuan tuan itu." Kemudian Abu Zar berkata: "Kamu harus menuruti arahan saya. Sekiranya saya menyuruh kamu membelanjakan harta saya, maka kamu perlu membelanjakan harta itu dengan cara yang terbaik." Orang dari Bani Sulaim itu merasakan bahawa syarat yang diberikan oleh Abu Zar mudah dilakukan. Beliau menerima syarat tersebut. Akhirnya, beliau tinggal bersama Abu Zar. Pada suatu hari, orang dari Bani Sulaim itu mendengar berita bahawa ada orang miskin berkhemah berhampiran tempat itu. Mereka sangat memerlukan makanan. Selepas mendengar berita itu, Abu Zar menyuruh orang dari Bani Sulaim menyembelih untanya dan memberi makanan kepada orang miskin tadi. Orang dari Bani Sulaim itu pergi memilih unta. Unta pertama yang dipilih sangat jinak. Baginya unta itu sesuai bagi tunggangan Abu Zaar. Lalu dia tidak menyembelih unta pertama itu. Kemudian beliau memilih unta yang kedua. Unta yang kedua itu juga baik cuma berbeza dengan yang pertama. Melihat unta itu, Abu Zar berkata: "Kamu tidak menepati janji yang kamu buat kepada saya sebelum ini." Selepas mendengar penjelasan Abu Zar, orang dari Bani Sulaim itu berpatah balik dan mengambil unta pertama yang dipilihnya tadi. Unta itu adalah yang terbaik diberi makan kepada orang miskin.

Abu Zar menyuruh dua orang menyembelih unta tersebut. Beliau juga berpesan kepada tukang sembelih unta itu supaya membahagikan daging sama rata kepada orang miskin tadi. Beliau juga berpesan supaya meninggalkan satu bahagian yang sama bagi keluarganya. Kemudian Abu Zar memanggil orang dari Bani Sulaim itu. Beliau bertanya: "Adakah kamu sengaja mengingkari arahan saya atau kamu sebenarnya terlupa dengan arahan saya itu?" "Saya tidak terlupa. Saya sebenarnya merasakan bahawa unta pertama itu sesuai bagi kenderaan tuan. Unta itu sangat jinak. Tuan amat memerlukannya. Manakala unta kedua sesuai dijadikan makanan dan diberikan kepada orang miskin itu," jawab orang dari Bani Sulaim itu. Abu Zar berkata lagi: "Saya beritahu kamu bilakah sebenarnya saya memerlukan harta itu? Iaitu semasa saya berada di dalam kubur. Ada tiga perkara yang berhak ke atas harta saya itu. "Pertama, takdir. Tiada sesiapa yang berhak menghalangnya sama ada baik atau buruk. Harta itu tetap diambilnya. "Kedua, pewaris harta itu. Mereka hanya menunggu saat kematian saya. Selepas saya mati, mereka bakal memperoleh harta itu. Ketiga ialah diri kita sendiri. Sekiranya kita dapat menguruskan harta itu, kita tidak perlu berkongsi dengan dua perkara tadi. Kita perlu menguruskan harta itu dengan sebaik mungkin." Bagi Abu Zar, beliau tetap memberikan harta yang paling disayanginya kepada orang yang memerlukannya sebagai bekalan hari selepas kematiannya. Orang dari Bani Sulaim itu memahami penerangan Abu Zar. Oleh yang demikian kita perlu membelanjakan harta kita ke jalan yang disukai oleh Allah. Barang yang mahu kita berikan kepada orang lain adalah dari barang yang paling kita sayang.
 
 Pelayan Dhuafa dan Pelurus Penguasa
Semasa hidupnya, Abizar Al Ghifary sangat dikenal sebagai penyayang kaum dhuafa. Kepedulian terhadap golongan fakir ini bahkan menjadi sikap hidup dan kepribadian Abizar. Sudah menjadi kebiasaan penduduk Ghiffar pada masa jahiliyah merampok kafilah yang lewat. Abizar sendiri, ketika belum masuk Islam, kerap kali merampok orang-rang kaya. Namun hasilnya dibagi-bagikan kepada kaum dhuafa. Kebiasaan itu berhenti begitu menyatakan diri masuk agama terakhir ini.
Prinsip hidup sederhana dan peduli terhadap kaum miskin itu tetap ia pegang di tempat barunya, di Syria. Namun di tempat baru ini, ia menyaksikan gubernur Muawiyah hidup bermewah-mewah. Ia malahan memusatkan kekuasaannya dengan bantuan kelas yang mendapat hak istimewa, dan dengan itu mereka telah menumpuk harta secara besar-besaran. Ajaran egaliter Abizar membangkitkan massa melawan penguasa dan kaum borjuis itu. Keteguhan prinsipnya itu membuat Abizar sebagai 'duri dalam daging' bagi penguasa setempat.
Ketika Muawiyah membangun istana hijaunya, Al Khizra, salah satu ahlus shuffah (sahabat Nabi SAW yang tinggal di serambi Masjid Nabawi) ini mengkritik khalifah, "Kalau Anda membangun istana ini dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan 'israf' (pemborosan)." Muawiyah hanya terpesona dan tidak menjawab peringatan itu.
Muawiyah berusaha keras agar Abizar tidak meneruskan ajarannya. Tapi penganjur egaliterisme itu tetap pada prinsipnya. Muawiyah kemudian mengatur sebuah diskusi antara Abizar dan ahli-ahli agama. Sayang, pendapat para ahli itu tidak mempengaruhinya.
Muawiyah melarang rakyat berhubungan atau mendengarkan pengajaran salah satu sahabat yang ikut dalam penaklukan Mesir, pada masa khalifah Umar bin Khattab ini. Kendati demikian, rakyat tetap berduyun-duyun meminta nasihatnya. Akhirnya Muawiyah mengadu kepada khalifah Usman. Ia mengatakan bahwa Abizar mengajarkan kebencian kelas di Syria, hal yang dianggapnya dapat membawa akibat yang serius.
Keberanian dan ketegasan sikap Abizar ini mengilhami tokoh-tokoh besar selanjutnya, seperti Hasan Basri, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan lainnya. Karena itulah, tak berlebihan jika sahabat Ali Ra, pernah berkata: "Saat ini, tidak ada satu orang pun di dunia, kecuali Abuzar, yang tidak takut kepada semburan tuduhan yang diucapkan oleh penjahat agama, bahkan saya sendiri pun bukan yang terkecuali."

Wednesday, April 25, 2012

SA’ID BIN AMIR AL-JUMAHI – GABENOR KUFAH


Sa’id bin Amir adalah orang yang membeli akhirat dengan dunia, dan ia lebih mementingkan Allah dan Rasul-Nya atas selain-Nya. (Ahli sejarah).
Adalah seorang anak muda Sa’id bin Amir Al-Jumahi salah satu dari beribu-ribu orang yang tertarik untuk pergi menuju daerah Tan’im di luar kota Makkah, dalam rangka menghadiri panggilan pembesar-pembesar Quraisy, untuk menyaksikan hukuman mati yang akan ditimpakan kepada Khubaib bin ‘Adiy, salah seorang sahabat Muhammad yang diculik oleh mereka.
Kepiawaian dan postur tubuhnya yang gagah, ia mendapatkan kedudukan yang lebih dari pada orang-orang, sehingga ia dapat duduk berdampingan dengan pembesar-pembesar Quraisy, seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, dan orang-orang yang mempunyai wibawa lainnya.
Dengan demikian ia dapat melihat dengan jelas tawanan Quraisy yang terikat dengan tali, suara gemuruh perempuan, anak-anak dan remaja senantiasa mendorong tawanan itu menuju arena kematian, karena kaum Quraisy ingin membalas Muhammad atas kematian orang-orangnya ketika perang Badar dengan cara membunuhnya.
Ketika rombongan yang garang ini dengan tawanannya, sampai di tempat yang telah disediakan, anak muda Sa’id bin Amir Al-Jumahi berdiri tegak memandangi Khubaib yang sedang diarak menuju kayu penyaliban, dan ia mendengar suaranya yang teguh dan tenang di antara teriakan wanita-wanita dan anak-anak, Khubaib berkata, “Izinkan saya untuk shalat dua raka’at sebelum pembunuhanku ini jika kalian berkenan.”
Kemudian ia memandanginya, sedangkan Khubaib menghadap kiblat dan shalat dua raka’at, alangkah bagusnya dan indahnya shalatnya itu…
Kemudia ia melihat, Khubaib seandainya menghadap pembesar-pembesar kaum dan berkata, “Demi Allah! Jjika kalian tidak menyangka bahwa saya memperpanjang shalat karena takut mati, tentu saya telah memperbanyak shalat…”
Kemudian ia melihat kaumnya dengan mata kepalanya, mereka memotong-motong Khubaib dalam keadaan hidup, mereka memotongnya sepotong demi sepotong, sambil berkata, “Apakah kamu ingin kalau Muhammad menjadi penggantimu dan kamu selamat?”, maka ia menjawab- sementara darah mengucur dari badannya, “Demi Allah! Saya tidak suka bersenang-senang dan berkumpul bersama istri dan anak sedangkan Muhammad tertusuk duri” . Maka orang-orang melambaikan tangannya ke atas, dan teriakan mereka semakin keras, “Bunuh!-bunuh…!.”
Kemudian Sa’id bin Amir melihat Khubaib mengarahkan pandangannya ke langit dari atas kayu salib, dan berkata, “Ya Allah ya Tuhan kami! Hitunglah mereka dan bunuhlah mereka satu persatu serta janganlah Engkau tinggalkan satupun dari mereka”, kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya, dan di badannya tidak terhitung lagi bekas tebasan pedang dan tusukan tombak.
Orang-orang Quraisy telah kembali ke Makkah, dan mereka telah melupakan kejadian Khubaib dan pembunuhannya karena banyak kejadian-kejadian setelahnya.
Akan tetapi anak muda Sa’id bin Amir Al-Jumahi tidak bisa menghilangkan bayangan Khubaib dari pandangannya walau sekejap mata.
Ia memimpikannya ketika sedang tidur, dan melihatnya dengan khayalan ketika matanya terbuka, Khubaib senantiasa terbayang di hadapannya sedang melakukan shalat dua raka’at dengan tenang di depan kayu salib, dan ia mendengar rintihan suaranya di telinganya, ketika Khubaib berdo’a untuk kebinasaan orang-orang Quraisy, maka ia takut kalau ia tersambar petir atau ketiban batu dari langit.
Khubaib telah mengajari Sa’id sesuatu yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Ia mengajarinya bahwa hidup yang sesungguhnya adalah aqidah dan jihad di jalan aqidah itu hingga akhir hayat.
Ia mengajarinya juga bahwa iman yang kokoh akan membuat keajaiban dan kemu’jizatan.
Dan ia mengajarinya sesuatu yang lain, yaitu bahwa sesungguhnya seorang laki-laki yang dicintai oleh para sahabatnya dengan kecintaan yang sedemikian rupa, tidak lain adalah nabi yang mendapat mandat dari langit.
Semenjak itu Allah membukakan dada Sa’id bin Amir untuk Islam, lalu ia berdiri di hadapan orang banyak dan memproklamirkan kebebasannya dari dosa-dosa Quraisy, berhala-berhala dan patung-patung mereka, dan menyatakan ikrarnya terhadap agama Allah.
Sa’id bin Amir berhijrah ke Madinah, dan mengabdikan diri kepada Rasulullah , dan ia ikut serta dalam perang Khaibar dan peperangan-peperangan setelahnya.
Dan ketika Nabi yang mulia dipanggil menghadap Tuhannya, -saat itu beliau sudah meridhainya- ia mengabdikan diri dengan pedang terhunus di zaman dua khalifah Abu Bakar dan Umar, dan hidup bagaikan contoh satu-satunya bagi orang mu’min yang membeli akhirat dengan dunia, dan mementingkan keridhaan Allah dan pahala-Nya atas segala keinginan hawa nafsu dan syahwat badannya.
Kedua khalifah Rasulullah telah mengetahui tentang kejujuran dan ketakwaan Sa’id bin Amir, keduanya mendengar nasihat-nasihatnya dan memperhatikan pendapatnya.
Pada awal kekhilafahan Umar, ia menemuinya dan berkata, “Wahai Umar, aku berwasiat kepadamu, agar kamu takut kepada Allah dalam urusan manusia, dan janganlah kamu takut kepada manusia dalam urusan Allah, dan janganlah ucapanmu bertentangan dengan perbuatanmu, karena sesungguhnya ucapan yang paling baik adalah yang sesuai dengan perbuatan…
Wahai Umar, hadapkanlah wajahmu untuk orang yang Allah serahkan urusannya kepadamu, baik orang-orang muslim yang jauh atau yang dekat, cintailah mereka sebagaimana kamu mencintai dirimu dan keluargamu, dan bencilah untuk mereka sesuatu yang kamu benci bagi dirimu dan keluargamu, dan tundukkanlah beban menjadi kebenaran dan janganlah kamu takut celaan orang yang mencela dalam urusan Allah.
Maka Umar berkata, Siapakah yang mampu menjalankan itu wahai Sa’id?!.”
Ia menjawab, “Orang laki-laki sepertimu mampu melakukannya, yaitu di antara orang-orang yang Allah serahkan urusan umat Muhammad kepadanya, dan tidak ada seorangpun perantara antara ia dan Allah.”
Setelah itu Umar mengajak Sa’id untuk membantunya dan berkata, “Wahai Sa’id; Kami menugaskan kamu sebagai gubernur atas penduduk Himsh.” maka ia berkata, Hai Umar!: Aku ingatkan dirimu terhadap Allah; Janganlah kamu menjerumuskanku ke dalam fitnah. Maka Umar marah dan berkata, Celaka kalian, kalian menaruh urusan ini di atas pundakku, lalu kalian berlepas diri dariku!!. Demi Allah aku tidak akan melepasmu.” Kemudian ia mengangkatnya menjadi gubernur di Himsh, dan beliau berkata, “Kami akan memberi kamu gaji.” Sa’id berkata, “Untuk apa gaji itu wahai Amirul mu’minin? karena pemberian untukku dari baitul mal telah melebihi kebutuhanku.” Kemudian ia berangkat ke Himsh.
Tidak lama kemudian datanglah beberapa utusan dari penduduk Himsh kepada Amirul mu’minin, maka beliau berkata kepada mereka, “Tuliskan nama-nama orang fakir kalian, supaya aku dapat menutup kebutuhan mereka.” Maka mereka menyodorkan selembar tulisan, yang di dalamnya ada Fulan, fulan dan Sa’id bin Amir. Umar bertanya: Siapakah Sa’id bin Amir ini?.” Mereka menjawab, “Gubernur kami.” Umar berkata, “Gubernurmu fakir?” Mereka berkata, “Benar, dan demi Allah sudah beberapa hari di rumahnya tidak ada api.” Maka Umar menangis hingga janggutnya basah oleh air mata, kemudian beliau mengambil seribu dinar dan menaruhnya dalam kantong kecil dan berkata, Sampaikan salamku, dan katakan kepadanya Amirul mu’minin memberi anda harta ini, supaya anda dapat menutup kebutuhan anda.”
Saat para utusan itu mendatangi Sa’id dengan membawa kantong, lalu Sa’id membukanya ternyata di dalamnya ada uang dinar, lalu ia meletakkannya jauh dari dirinya dan berkata: (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan dikembalikan kepada-Nya)- seolah-olah ia tertimpa musibah dari langit atau ada suatu bahaya di hadapannya, hingga keluarlah istrinya dengan wajah kebingungan dan berkata, “Ada apa wahai Sa’id?!, Apakah Amirul mu’minin meninggal dunia?. Ia berkata, “Bahkan lebih besar dari itu.” Istrinya berkata, “Apakah orang-orang muslim dalam bahaya?” Ia menjawab, “Bahkan lebih besar dari itu.” Istrinya berkata, “Apa yang lebih besar dari itu?” Ia menjawab, “Dunia telah memasuki diriku untuk merusak akhiratku, dan fitnah telah datang ke rumahku.” Istrinya berkata, “Bebaskanlah dirimu darinya.” -saat itu istrinya tidak mengetahui tentang uang-uang dinar itu sama sekali-. Ia berkata, “Apakah kamu mau membantu aku untuk itu?” Istrinya menjawab, “Ya!” Lalu ia mengambil uang-uang dinar dan memasukkannya ke dalam kantong-kantong kecil kemudian ia membagikannya kepada orang-orang muslim yang fakir.
Tidak lama kemudian Umar bin al-Khattab ? datang ke negeri Syam untuk melihat keadaan, dan ketika beliau singgah di Himsh -waktu itu disebut dengan ‘Al-Kuwaifah’ yaitu bentuk kecil dari kalimat Al-Kufah-, karena memang Himsh menyerupainya baik dalam bentuknya atau banyaknya keluhan dari penduduk akan pejabat-pejabat dan penguasa-penguasanya. Ketika beliau singgah di negeri itu, penduduknya menyambut dan menyalaminya, maka beliau berkata kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian tentang gubernur kalian?”
Maka mereka mengadukan kepadanya tentang empat hal, yang masing-masing lebih besar dari yang lainnya. Umar berkata, Maka aku kumpulkan dia dengan mereka, dan aku berdo’a kepada Allah supaya Dia tidak menyimpangkan dugaanku terhadapnya, karena aku sebenarnya menaruh kepercayaan yang sangat besar kepadanya. Dan ketika mereka dan gubernurnya telah berkumpul di hadapanku, aku berkata, “Apa yang kalian keluhkan dari gubernur kalian?”
Mereka menjawab, “Beliau tidak keluar kepada kami kecuali jika hari telah siang.” Maka aku berkata, “Apa jawabmu tentang hal itu wahai Sa’id?.” Maka ia terdiam sebentar, kemudian berkata, “Demi Allah sesungguhnya aku tidak ingin mengucapkan hal itu, namun kalau memang harus dijawab, sesungguhnya keluargaku tidak mempunyai pembantu, maka aku setiap pagi membuat adonan, kemudian aku tunggu sebentar sehingga adonan itu menjadi mengembang, kemudian aku buat adonan itu menjadi roti untuk mereka, kemudian aku berwudlu dan keluar menemui orang-orang.” Umar berkata, “Lalu aku berkata kepada mereka, “Apa lagi yang anda keluhkan darinya?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya beliau tidak menerima tamu pada malam hari.” Aku berkata, “Apa jawabmu tentang hal itu wahai Sa’id?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Demi Allah aku tidak suka untuk mengumumkan ini juga, aku telah menjadikan siang hari untuk mereka dan malam hari untuk Allah Azza wa Jalla.” Aku berkata, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
Mereka menjawab, “Sesungguhnya beliau tidak keluar menemui kami satu hari dalam sebulan.” Aku berkata, “Dan apa ini wahai Sa’id?” Ia menjawab, “Aku tidak mempunyai pembantu wahai Amirul mu’minin, dan aku tidak mempunyai baju kecuali yang aku pakai ini, dan aku mencucinya sekali dalam sebulan, dan aku menunggunya hingga baju itu kering, kemudian aku keluar menemui mereka pada sore hari.” Kemudian aku berkata: “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” Mereka menjawab, “Beliau sering pingsan, hingga ia tidak tahu orang-orang yang duduk dimajlisnya.” Lalu aku berkata, “Dan apa ini wahai Sa’id?” Maka ia menjawab, “Aku telah menyaksikan pembunuhan Khubaib bin Adiy, kala itu aku masih musyrik, dan aku melihat orang-orang Quraisy memotong-motong badannya sambil berkata, “Apakah kamu ingin kalau Muhammad menjadi penggantimu?” maka ia berkata, “Demi Allah aku tidak ingin merasa tenang dengan istri dan anak, sementara Muhammad tertusuk duri…Dan demi Allah, aku tidak mengingat hari itu dan bagaimana aku tidak menolongnya, kecuali aku menyangka bahwa Allah tidak mengampuni aku… maka akupun jatuh pengsan.”
Seketika itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menyimpangkan dugaanku terhadapnya.” Kemudian beliau memberikan seribu dinar kepadanya, dan ketika istrinya melihatnya ia berkata kepadanya, “Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan kami dari pekerjaan berat untukmu, belilah bahan makanan dan sewalah seorang pembantu untuk kami”, Maka ia berkata kepada isterinya, “Apakah kamu menginginkan sesuatu yang lebih baik dari itu?” Istrinya menjawab, “Apa itu?” Ia berkata, “Kita berikan dinar itu kepada yang mendatangkannya kepada kita, pada saat kita lebih membutuhkannya.” Isterinya berkata, “Apa itu?”, Ia menjawab, “Kita pinjamkan dinar itu kepada Allah dengan pinjaman yang baik.” Isterinya berkata, “Benar, dan semoga kamu dibalas dengan kebaikan.” Maka sebelum ia meninggalkan tempat duduknya dinar-dinar itu telah berada dalam kantong-kantong kecil, dan ia berkata kepada salah seorang keluarganya, “Berikanlah ini kepada jandanya fulan. dan kepada anak-anak yatimnya fulan, dan kepada orang-orang miskin keluarga fulan, dan kepada fakirnya keluarga fulan”.
Mudah-mudahan Allah meridhai Sa’id bin Amir al-Jumahi, karena ia adalah termasuk orang-orang yang mendahulukan(orang lain) atas dirinya walaupun dirinya sangat memerlukannya.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...