
Abu
Zar memang seorang yang tegas. Beliau mempunyai prinsipnya yang
tersendiri. Lalu Abu Zar berkata: "Saya tidak dapat mengambil
sembarangan orang tinggal bersama saya, kecuali dengan satu syarat. Kamu
perlu ikut segala arahan saya." Mendengar jawapan tersebut, lelaki dari
Bani Sulaim itu bertanya: "Apakah syaratnya? Saya cuba patuh kepada
kemahuan tuan itu." Kemudian Abu Zar berkata: "Kamu harus menuruti
arahan saya. Sekiranya saya menyuruh kamu membelanjakan harta saya, maka
kamu perlu membelanjakan harta itu dengan cara yang terbaik." Orang
dari Bani Sulaim itu merasakan bahawa syarat yang diberikan oleh Abu Zar
mudah dilakukan. Beliau menerima syarat tersebut. Akhirnya, beliau
tinggal bersama Abu Zar. Pada suatu hari, orang dari Bani Sulaim itu
mendengar berita bahawa ada orang miskin berkhemah berhampiran tempat
itu. Mereka sangat memerlukan makanan. Selepas mendengar berita itu, Abu
Zar menyuruh orang dari Bani Sulaim menyembelih untanya dan memberi
makanan kepada orang miskin tadi. Orang dari Bani Sulaim itu pergi
memilih unta. Unta pertama yang dipilih sangat jinak. Baginya unta itu
sesuai bagi tunggangan Abu Zaar. Lalu dia tidak menyembelih unta pertama
itu. Kemudian beliau memilih unta yang kedua. Unta yang kedua itu juga
baik cuma berbeza dengan yang pertama. Melihat unta itu, Abu Zar
berkata: "Kamu tidak menepati janji yang kamu buat kepada saya sebelum
ini." Selepas mendengar penjelasan Abu Zar, orang dari Bani Sulaim itu
berpatah balik dan mengambil unta pertama yang dipilihnya tadi. Unta itu
adalah yang terbaik diberi makan kepada orang miskin.
Abu
Zar menyuruh dua orang menyembelih unta tersebut. Beliau juga berpesan
kepada tukang sembelih unta itu supaya membahagikan daging sama rata
kepada orang miskin tadi. Beliau juga berpesan supaya meninggalkan satu
bahagian yang sama bagi keluarganya. Kemudian Abu Zar memanggil orang
dari Bani Sulaim itu. Beliau bertanya: "Adakah kamu sengaja mengingkari
arahan saya atau kamu sebenarnya terlupa dengan arahan saya itu?" "Saya
tidak terlupa. Saya sebenarnya merasakan bahawa unta pertama itu sesuai
bagi kenderaan tuan. Unta itu sangat jinak. Tuan amat memerlukannya.
Manakala unta kedua sesuai dijadikan makanan dan diberikan kepada orang
miskin itu," jawab orang dari Bani Sulaim itu. Abu Zar berkata lagi:
"Saya beritahu kamu bilakah sebenarnya saya memerlukan harta itu? Iaitu
semasa saya berada di dalam kubur. Ada tiga perkara yang berhak ke atas
harta saya itu. "Pertama, takdir. Tiada sesiapa yang berhak
menghalangnya sama ada baik atau buruk. Harta itu tetap
diambilnya. "Kedua, pewaris harta itu. Mereka hanya menunggu saat
kematian saya. Selepas saya mati, mereka bakal memperoleh harta itu.
Ketiga ialah diri kita sendiri. Sekiranya kita dapat menguruskan harta
itu, kita tidak perlu berkongsi dengan dua perkara tadi. Kita perlu
menguruskan harta itu dengan sebaik mungkin." Bagi Abu Zar, beliau tetap
memberikan harta yang paling disayanginya kepada orang yang
memerlukannya sebagai bekalan hari selepas kematiannya. Orang dari Bani
Sulaim itu memahami penerangan Abu Zar. Oleh yang demikian kita perlu
membelanjakan harta kita ke jalan yang disukai oleh Allah. Barang yang
mahu kita berikan kepada orang lain adalah dari barang yang paling kita
sayang.
Pelayan Dhuafa dan Pelurus Penguasa
Semasa hidupnya, Abizar Al Ghifary sangat dikenal sebagai penyayang kaum dhuafa. Kepedulian terhadap golongan fakir ini bahkan menjadi sikap hidup dan kepribadian Abizar. Sudah menjadi kebiasaan penduduk Ghiffar pada masa jahiliyah merampok kafilah yang lewat. Abizar sendiri, ketika belum masuk Islam, kerap kali merampok orang-rang kaya. Namun hasilnya dibagi-bagikan kepada kaum dhuafa. Kebiasaan itu berhenti begitu menyatakan diri masuk agama terakhir ini.
Prinsip hidup sederhana dan peduli terhadap kaum miskin itu tetap ia pegang di tempat barunya, di Syria. Namun di tempat baru ini, ia menyaksikan gubernur Muawiyah hidup bermewah-mewah. Ia malahan memusatkan kekuasaannya dengan bantuan kelas yang mendapat hak istimewa, dan dengan itu mereka telah menumpuk harta secara besar-besaran. Ajaran egaliter Abizar membangkitkan massa melawan penguasa dan kaum borjuis itu. Keteguhan prinsipnya itu membuat Abizar sebagai 'duri dalam daging' bagi penguasa setempat.
Ketika Muawiyah membangun istana hijaunya, Al Khizra, salah satu ahlus shuffah (sahabat Nabi SAW yang tinggal di serambi Masjid Nabawi) ini mengkritik khalifah, "Kalau Anda membangun istana ini dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan 'israf' (pemborosan)." Muawiyah hanya terpesona dan tidak menjawab peringatan itu.
Muawiyah berusaha keras agar Abizar tidak meneruskan ajarannya. Tapi penganjur egaliterisme itu tetap pada prinsipnya. Muawiyah kemudian mengatur sebuah diskusi antara Abizar dan ahli-ahli agama. Sayang, pendapat para ahli itu tidak mempengaruhinya.
Muawiyah melarang rakyat berhubungan atau mendengarkan pengajaran salah satu sahabat yang ikut dalam penaklukan Mesir, pada masa khalifah Umar bin Khattab ini. Kendati demikian, rakyat tetap berduyun-duyun meminta nasihatnya. Akhirnya Muawiyah mengadu kepada khalifah Usman. Ia mengatakan bahwa Abizar mengajarkan kebencian kelas di Syria, hal yang dianggapnya dapat membawa akibat yang serius.
Keberanian dan ketegasan sikap Abizar ini mengilhami tokoh-tokoh besar selanjutnya, seperti Hasan Basri, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan lainnya. Karena itulah, tak berlebihan jika sahabat Ali Ra, pernah berkata: "Saat ini, tidak ada satu orang pun di dunia, kecuali Abuzar, yang tidak takut kepada semburan tuduhan yang diucapkan oleh penjahat agama, bahkan saya sendiri pun bukan yang terkecuali."
Semasa hidupnya, Abizar Al Ghifary sangat dikenal sebagai penyayang kaum dhuafa. Kepedulian terhadap golongan fakir ini bahkan menjadi sikap hidup dan kepribadian Abizar. Sudah menjadi kebiasaan penduduk Ghiffar pada masa jahiliyah merampok kafilah yang lewat. Abizar sendiri, ketika belum masuk Islam, kerap kali merampok orang-rang kaya. Namun hasilnya dibagi-bagikan kepada kaum dhuafa. Kebiasaan itu berhenti begitu menyatakan diri masuk agama terakhir ini.
Prinsip hidup sederhana dan peduli terhadap kaum miskin itu tetap ia pegang di tempat barunya, di Syria. Namun di tempat baru ini, ia menyaksikan gubernur Muawiyah hidup bermewah-mewah. Ia malahan memusatkan kekuasaannya dengan bantuan kelas yang mendapat hak istimewa, dan dengan itu mereka telah menumpuk harta secara besar-besaran. Ajaran egaliter Abizar membangkitkan massa melawan penguasa dan kaum borjuis itu. Keteguhan prinsipnya itu membuat Abizar sebagai 'duri dalam daging' bagi penguasa setempat.
Ketika Muawiyah membangun istana hijaunya, Al Khizra, salah satu ahlus shuffah (sahabat Nabi SAW yang tinggal di serambi Masjid Nabawi) ini mengkritik khalifah, "Kalau Anda membangun istana ini dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan 'israf' (pemborosan)." Muawiyah hanya terpesona dan tidak menjawab peringatan itu.
Muawiyah berusaha keras agar Abizar tidak meneruskan ajarannya. Tapi penganjur egaliterisme itu tetap pada prinsipnya. Muawiyah kemudian mengatur sebuah diskusi antara Abizar dan ahli-ahli agama. Sayang, pendapat para ahli itu tidak mempengaruhinya.
Muawiyah melarang rakyat berhubungan atau mendengarkan pengajaran salah satu sahabat yang ikut dalam penaklukan Mesir, pada masa khalifah Umar bin Khattab ini. Kendati demikian, rakyat tetap berduyun-duyun meminta nasihatnya. Akhirnya Muawiyah mengadu kepada khalifah Usman. Ia mengatakan bahwa Abizar mengajarkan kebencian kelas di Syria, hal yang dianggapnya dapat membawa akibat yang serius.
Keberanian dan ketegasan sikap Abizar ini mengilhami tokoh-tokoh besar selanjutnya, seperti Hasan Basri, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan lainnya. Karena itulah, tak berlebihan jika sahabat Ali Ra, pernah berkata: "Saat ini, tidak ada satu orang pun di dunia, kecuali Abuzar, yang tidak takut kepada semburan tuduhan yang diucapkan oleh penjahat agama, bahkan saya sendiri pun bukan yang terkecuali."
No comments:
Post a Comment